Jumat, 27 Maret 2009

Aku Terpaksa Menjadi Tikus

Aku terpaksa menjadi "tikus" yang terus menggerogoti uang rakyat. Berlimpahnya gelimangan rupiah, dollar bahkan euro telah memaksaku untuk menjadi seekor tikus. Aku berpikir lebih baik aku tidak bertopengkan kucing karena aku tak ingin menjadi seekor tikus yang munafik. Lebih baik aku menjadi jujur pada diriku, hidupku, dan nuraniku daripada aku harus selalu bertopengkan kebaikan untuk menggerogoti hak-hak mereka.Setahun ini aku benar-benar selalu terpusingkan dengan semakin meningginya harga barang, bahkan segenggam beraspun sudah tak sanggup aku beli sehingga aku harus mengumpulkan ceceran beras di gudang bulog yang sudah hampir membusuk. Menimba ilmu? ah... itu basa-basi. Bagaimana mungkin aku bisa belajar dengan tenang di saat perut tak lagi berisi. Belum lagi bila harus mendengar caci petugas administrasi kampus yang selalu menagihkan uang SPP.Ingin rasanya mengencangkan ikat pinggang, tapi apa daya ikat pinggangpun tak sanggup terbeli. Berteduh dari rintik hujan semakin sukar, karena tak lagi ada pohon rindang tempatku bermain dulu yang telah dilahap oleh kucing rakus dari tanah seberang. Belum lagi diriku harus bertahan dari dinginnya emperan toko yang telah menjadi sungai kecil. Walau kadang aku dapat membahagiakan diriku dengan sesekali berenang di kolam buatan bekas tambang emas atau batubara yang akupun tak tahu telah berapa banyak dollar mengalir ke kocek tuan tanah dari negeri seberang itu.Menjadi tikus adalah bukan sebuah pilihan, karena pilihan lain adalah mengakhiri hidup seperti siswa SD di tanah Jawa yang malu karena tak mampu membayar uang sekolah. Aku belum cukup berani untuk itu. Aku pun tidak ingin menjadi seekor tikus gembul yang membuat badanku tak lagi mampu berlari. Aku hanya perlu untuk bisa tetap hidup. Aku hanya butuh untuk bisa tetap melangkah. Mencari ganjal perut di tempat sampah yang telah dipenuhi oleh racun pun tak apa kujalani, namun itu tak mungkin kuberikan pada mereka yang sangat aku sayangi. Aku tetap ingin mereka hidup dengan layaknya. Bisa makan tiga kali sehari dengan menu empat sehat lima sempurna. Bisa punya baju baru yang bisa dipamerkan pada teman-teman mereka saat hari besar agama. Bisa tetap memegang selembar buku dan setangkai pensil untuk mencatatkan pelajaran yang tidak mungkin mampu diingat seluruhnya.Dan aku juga tidak ingin menjadi tikus yang merugikan bagi saudaraku sedarah yang selama ini hidup berdampingan dengan aku. Terkadang aku muak dengan jargon-jargon kawan-kawanku yang selalu meneriakkan kesejahteraan, kebahagiaan, keceriaan. Mereka berteriak, tapi mereka juga menjadi seekor tikus besar. Menghisap darah saudaranya, menyikut hidup kerabatnya. Demi sebuah tegaknya dagu kehormatan diri. Sejatinya mereka bahkan tidak lagi cukup hanya menjadi tidak lapar, tapi mereka ingin tidur di tumpukan dollar.Sesekali aku berhadap orang dari negeri seberang yang membawa berkarung-karung harta mau membagikan sekeping emas padaku. Saat mereka tiba mereka selalu bilang padaku, mereka ingin lestarikan pohon tua itu, mereka ingin agar saudara-saudaraku tidak lapar, mereka ingin agar negaraku menjadi lebih makmur. Senyatanya mereka sendiri yang menghabiskan berkarung-karung harta yang mereka bawa. Hanya serpihan dan debu harta merekalah yang sempat dirasakan kawan-kawanku. Setelah dahaga mereka tercukupkan, berlayarlah mereka ke pulau sebelah dan mengatakan pada majikannya bahwa mereka telah melakukan tugas dengan baik dan benar.Lalu, salahkah bila aku menjadi seekor tikus yang mengerat remah-remah? Ataukah aku harus tidak lagi boleh berdiri tegak di tanah yang tergadaikan ini? Menjadi tikus, bukan kucing bertopeng tikus, adalah sebuah cita bagi diriku. Agar aku tetap dapat menyaksikan semua drama kemunafikan dengan mata kepalaku sendiri. Bukan dari dongeng klasik seperti yang selalu diperdengarkan oleh ibuku disaat aku masih belum mampu berdiri tegak di atas tanah yang telah tergadaikan ini.Mungkin suatu saat aku tak lagi menjadi seekor tikus. Karena kucing telah bergeliat bangun dari tidur panjangnya setelah sekian lama dibius oleh aroma kemewahan yang dibawa oleh serigala putih dari negeri utara. Namun aku akan tetap menjadi tikus dan akan ajak saudaraku untuk menjadi tikus, mempersatukan para tikus untuk melawan serigala putih yang saat ini tengah berdiri dengan angkuhnya.[050511:19.36]:: sebuah coretan kecil terhadap banyaknya serigala berbulu domba disekitarku

Menjadi Yang Terbaik

Ketiga banyak orang saat ini berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam sa tu kompetisi yang dinamakan PEMILU, ada beberapa orang yang menikmtinya tapi ada juga beberapa orang yang hanya sekedar tahu, bahkan ada juga yang tidak tahu dan tidak berpengaruh sedikitpun..
hal yang paling mengesankan adalah bayak hal yang dilakukan untuk memenangkan kompetisi itu meski meraka tiudak tahu yang mereka lakukan legal atau ilegal..
Banyak cara, banyak perilaku, banyak jurus-jurus yang dikeluarkan, bahkan banyak materi yang sangat menguras isi kantong mereka..
Apa yang mereka cari ?
itu yang menjadi pemikiran kita, ada tanda tanya besar yang tersirat di raut wajah orang-orang yang tergheran-heran dengan tingkah laku kompetisi yang berlangsung 5 tahunan ini.
Menjadi Terbaik.. itu yang menjadi prinsip mereka yang mengikuti kompetisi ini, nah sekarang tinggal kita menunggu dengan berharap cemas, bukan siapa atau jago siapa yang menang tapi menunggu dengan berharap cemas agar negara ini aman tenteram meski berbeda team untuk memenangkan kompetisai, tapi satu hal yang perlu diingat adalah kita semua keluarga, kita semua sedarah.. INDONESIA..
Menjadi yang terbaik bukan dari luarnya saja tapi benar-benar dari dalam lubuk hati.. itu Harapan kita..Semoga.

Beng